Makalah : Kedudukan dan Fungsi Hadits

Tugas Kelompok                                          Dosen Pembimbing
       Studi Hadist                                     Syarifuddin, M. Ag


Kedudukan dan Fungsi Hadits




Disusun oleh :
Kelompok 3

Albeneser
Andre VariAntoni



Fakultas Sains dan Teknologi
Jurusan Teknik Informatika
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
Pekanbaru
2016


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam memahami Kedudukandanfungsihadits.
Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca,sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki masih kurang. Oleh karena itu kami harapkan kepada pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.


Pekanbaru,     September 16

Penyusun




DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
1.1.       Latar Belakang
1.2.       Rumusan Masalah
1.3.       Tujuan
PEMBAHASAN
2.1.       Hadits sebagai sumber hukum islam
2.2.       Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an
2.3.       Hubungan Alquran dengan sunnah
PENUTUP
3.1.       Simpulan
DAFTAR PUSTAKA


BAB I PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, memiliki peranan sangat penting dalam membentuk peradaban manusia yang mulia. Sebagai agama, Islam tidak saja hanya mengatur hubungan manusia dan Tuhannya, tetapi juga hubungan manusia dan manusia, hubungan manusia dan alam sekitarnya.
Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam adalah wahyu Allah SWT yang berisikan sejarah, hukum, dan syariat-syariat yang menuntun dan membimbing umat Islam ke jalan yang benar, yang pada akhirnya akan memuliakan manusia itu sendiri. Al-Quran juga membenarkan Kitab-Kitab yang Allah turunkan sebelumnya yaitu Zabur, Taurat dan Injil.
Sebagai kitab suci tentu saja Al-Quran merupakan sumber hukum utama bagi umat Islam dalam menjalankan perintah-perintah dan meninggalkan larangan-larangan Allah. Untuk menjelaskan banyak hal yang bersifat umum dalam Al-Quran, maka Hadis memiliki peran penting dalam menuntun dan dan mengarahkan manusia dalam menjalankan ajaran Al-Quran.
Kata “Hadis” secara bahasa dapat diartikan “baru” (al-jadid), yang merupakan lawan kata dari al-qadim (lama/terdahulu). Makna ini dipahami sebagai berita yang disandarkan kepada Nabi Saw, karena pembaruannya sebagai perimbangan dengan berita yang terkandung dalam Al-Quran yang sifatnya qadim. Dengan demikian hadis memiliki peran yang sangat penting dan tinggi bagi umat Islam sebagai sumber hukum atau penjelasan dari sumber hukum yang ada di Al-Quran.
Terkadang, banyak yang memahami agama setengah-setengah, dengan dalih kembali pada ajaran Islam yang murni, yang hanya berpegang teguh pada sunnatullah atau Al-Quran saja dan meniadakan peranan hadis, sehingga banyak yang terjerumus pada jalan yang sesat, mereka tidak hanya sesat melainkan juga menyesatkan yang lain. Oleh karena itu, peranan hadis terhadap Al-Quran dalam melahirkan hukum syariat Islam tidak bisa dikesampingkan lagi, karena tidak mungkin  umat Islam memahami ajaran Islam dengan benar jika hanya merujuk pada Al-Quran saja, melainkan harus diimbangi dengan hadis.
Di sisi lain Imam Syafi’i telah menanamkan fondasi epistemologis yang sangat kokoh ketika mengeluarkan kaidah fiqhiyah yang berbunyi: iza asaha al-hadits fahuwa mazhabi, bahwa ketika “jika sebuah hadis telah teruji kesahihannya, itulah mazhabku”. Berawal dari konteks ini ternyata perkembangan agama (hukum) Islam tidak terlepas dari kontek kajian hadis.

1.2.  Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.      Bagaimana kedudukan Hadits sebagai sumber hukum islam ?
2.      Apa Fungsi Hadits terhadap Al-Quran ?
3.      Bagaimanahubungan Al-qurandenganSunnah?

1.3.  Tujuan
1.      Menjelaskankedudukan Hadits sebagai sumber hukum islam?
2.      Menjelaskan Fungsi Hadits terhadap Al-Quran?
3.      Menjelaskan hubungan Al-qurandenganSunnah?






BAB II PEMBAHASAN

2.1.  Hadits sebagai sumber hukum islam
            Kedudukan sunnah (hadis) dalam Islam sebagai sumber hukum. Para ulama juga telah berkonsensus bahwa dasar hukum Islam adalah Al-Quran dan sunnah (hadis). Dari segi urutan tingkatan dasar Islam ini, sunnah (hadis) menjadi dasar hukum Islam (tasyri’iyyah) kedua setelah Al-Quran. Hal ini dapat dimaklumi karena beberapa alasan sebagai berikut:
a.       Fungsi sunnah (hadis) sebagai penjelas terhadap Al-Quran
Sunnah berfungsi sebagai penjelas atau tambahan terhadap Al-Quran. Tentunya pihak penjelas diberikan peringkat kedua setelah pihak yang dijelaskan. Teks Al-Quran sebagai pokok asal, sedangkan sunnah sebagai penjelas (tafsir) yang dibangun karenanya. Dengan demikian segala uraian dalam sunnah berasal dari Al-Quran.
b.      Mayoritas sunnah relatif kebenarannya.
Seluruh umat Islam juga telah berkonsensus bahwa Al-Quran seluruhnya diriwiyatakan secara mutawatir (para periwayat secara kolektif dalam segala tingkatan). Maka ia memberi faedah absolut kebenarannya dari Nabi, kemudian di antaranya ada yang memberi petunjuk makna secara tegas dan pasti dan secara relatif petunjuknya. Sedangkan sunnah (hadis), diantaranya ada yang muatawatir yang memberikan faedah absolut kebenarannya, dan di antaranya bahkan yang mayoritas ahad (periwayatnya secara individual) memberikan faedah relatif kebenarannya bahwa ia dari Nabi meskipun secara umum dapat dikatakan absolut kebenarannya.
Ada beberapa dalil yang menunjukkan atas kehujahan hadis dijadikan sebagai sumber hukum Islam, yaitu sebagai berikut:
1.      Dalil Al-Qur’an
Dalam Al-Quran banyak terdapat ayat yang menegaskan tentang kewajiban mengikuti Allah yang digandengkan dengan ketaatan mengikuti rasul-Nya, seperti firman Allah berikut ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖفَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِر
ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
       “Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar mengimani Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya(QS. An-Nisa: 59).

Selain itu banyak dalil Al-Quran yang memerintahkan ketaatan kepada rasul dan mengikuti sunnahnya. Perintah patuh kepada rasul berarti perintah mengikuti sunah sebagai hujah. Antara lain:

a.       Konsekuensi iman kepada Allah adalah taat kepada-Nya. Sebagaimana perintah Allah dalam surat Ali Imran: 179

فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ۚوَإِنْتُؤْمِنُوا وَتَتَّقُوا فَلَكُمْ أَجْرٌ عَظِيم

 “Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar.”

b.      Perintah iman kepada rasul beserta iman kepada Allah. Sebagaimana perintah Allah dalam surat An-Nisa: 136

يَا أَيُّهَاالَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَعَلَىٰ رَسُولِهِ
 وَالْكِتَابِالَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan kepada kitab yang Alllah turunkan kepada rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya.”

Disamping itu, banyak juga ayat yang mewajibkan ketaatan kepada rasul secara khusus dan terpisah karena pada dasarnya ketaatan kepada rasul berarti ketaatan kepada Allah SWT, yaitu:
1)   Q.S An-Nisa (4) ayat 65 dan 80
2)   Q.S Ali Imran (3) ayat 31
3)   Q.S AN-Nur (24) ayat 56, 62 dan 63
4)   Q.S Al-A’raf (7) ayat 158.  

Selain Allah memerintahkan agar umat Islam agar percaya kepada Rasul SAW, juga menyerukan agar menaati segala bentuk perundang-undangan dan peraturan yang dibawanya, baik berupa perintah maupun larangan. Tuntutan taat dan patuh kepada Rasul SAW ini sama halnya dengan tuntutan taat kepada Allah SWT. Banyak ayat Al-Quran yang berkenaan dengan masalah itu.
2.      Dalil Hadits
Dalam salah satu pesan Rasulullah SAW berkenaan dengan keharusan menjadikan hadis sebagai pedoman hidup, di samping Al-Quran sebagai pedoman utamanya. Beliau bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَرَكْتُ 
فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ.
 (الإمام مالك)

“Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi SAW, bahwa Rasulullah bersabda: "Telah Aku tinggalkan pada diri kamu sekalian dua perkara sehingga kamu tidak akan sesat selama kamu berpegang teguh kepadanya. Yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya" (H.R. Malik).

3.      Dalil Ijma Ulama
Setelah Rasulullah wafat, para sahabat sepakat bahwa apa-apa yang berasal dari Rasulullah, baik perbuatan, perkataan dan takrirnya dijadikan sebagai landasan  untuk menjalankan agama. Tidak seorangpun diantara mereka menolak tentang kewajiban untuk menaati apa-apa yang datang dari Rasulullah. Kewajiban untuk menaati sunnah rasul dikuatkan oleh dalil-dalil yang bersumber dari Al-Quran dan Hadis. Kesepakatan para sahabat selanjutnya diikuti oleh para tabi’in, tabi’ tabi’in dan generasi berikutnya hingga sampai saat ini.
Banyak peristiwa menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadis sebagai sumber hukum Islam, antara lain dapat diperhatikan peristiwa di bawah ini:
1)      Ketika Abu Bakar dibaiat menjadi Khalifah, ia pernah berkata “Saya tidak meninggalkan sedikit pun sesuatu yang diamalkan/dilaksanakan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya”.
2)      Saat Umar berada di depan Hajar Aswad ia berkata “Saya tahu bahwa engkau adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan menciummu”.
3)      Pernah ditanyakan kepada Abdullah bin Umar tentang ketentuan shalat safar dalam Al-Quran. Ibnu Umar menjawab: “Allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad SAW kepada kita dan kita tidak mengetahui sesuatu. Sesungguhnya kami berbuat sebagaimana duduknya Rasulullah SAW, saya makan sebagaimana makannya Rasulullah dan saya sahalat sebagaimana shalatnya Rasul”.
4)      Diceritakan dari Sa’id bin Musayyab bahwa Usman bin ‘Affan berkata: “Saya duduk sebagaimana duduknya Rasulullah SAW, saya makan sebagaimana makannya Rasulullah dan saya shalat sebagaimana shalatnya Rasul”.

4.      Dalil Akal (Rasio)
Maksud dari dalil ini adalah argumen yang disusun berdasarkan pendekatan akal untuk menjelaskan kedudukan hadis. Hampir tidak dapat dibayangkan betapa seorang manusia tidak akan bisa menjalankan praktik Ubudiyah maupun praktik Mu’amalah dengan benar bila mengambil pijakan langsung dari Al-Quran tanpa mengetahui  keterangan dan penjabaran dari hadis terhadap ayat-ayat mengenai hal-hal tersebut.
Kerasulan Nabi Muhammad SAW teah diakui dan dibenarkan oleh umat Islam. Di dalam mengemban misinya itu, kadang-kadang beliau hanya sekedar menyampaikan apa yang diterima dari Allah SWT, baik isi maupun formulasinya dan kadang kala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan ilham dari Tuhan. Namun, tidak jarang beliau membawakan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak ditunjuk oleh wahyu  dan juga tidak dibimbing oleh ilham. Hasil ijtihad beliau ini tetap berlaku sampai ada nas yang menasakhnya.

2.2.  Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an
1.      Hadis sebagai Bayan Tafshil
Yang di maksud dengan bayan tasfsil di sini adalah bahwa hadits itu menjelaskan atau memperinci kemujmalan Al-Quran. Karena Al-Quran bersifat mujmal (global), maka agar ia dapat berlaku sepanjang masa dan dalam keadaan bagaimanapun diperlakukan perincian. Maka dari itu diperlukan adanya hadis atau sunnah.
Dalam kedudukannya sebagai sumber kedua setelah Al-Quran, hadis berfungsi sebagai pemerinci atau penafsir hal-hal yang masih disebutkan secara mujmal oleh Al-Quran. Mujmal dalam pengertian ini adalah suatu lafaz yang belum jelas dilalahnya atau masih bersifat umum dalam penunjukannya. Dengan hadis diharapkan dapat diketahui dengan jelas maksud dan penunjukannya.
Dalam  Al-Quran ada perintah melaksanakan shalat, mengeluarkan zakat, mengerjakan ibadah haji. Namun teknik operasional tidak dijumpai didalam Al-Quran, teknik pelaksanaan tersebut dijelaskan di dalam hadis.
2.      Hadis sebagai Bayan Takhshish
Dalam hal ini hadis bertindak sebagai penjelas tentang kekhususan ayat-ayat yang masih bersifat umum. ‘Amm dalam pengertian ini adalah suatu lafaz yang menunjukkan suatu makna yang mencakup seluruh satuan makna yang tidak terbatas dalam satuan tertentu. Dengan kata lain, semua lafaz yang mencakup semua makna yang pantasdengan suatu ucapan saja. Misalnya lafaz al-Muslimun (orang-orang Islam), al-rijal (anak-anak laki-lakimu), dan lain-lain. Misalnya, terkait informasi Al-Quran tentang ketentuan anak laki-laki yang dapat mewarisi orang tua dari keluarganya, di dalam Al-Quran dijelaskan sebagai berikut: “Allah telah mewasiatkan kepadamu tentang bagian anak-anakmu, yakni untuk laki-laki sama dengan dua bagian untuk anak perempuan”. (Q.S. An-Nisa: 11). Ayat ini tidak menjelaskan syarat-syarat untuk dapat saling mewarisi antara keluarga. Selanjutnya hal itu dijelaskan oleh hadis yang menerangkan tentang persyaratan khusus tentang kebisaan saling mewarisi tersebut, antara lain tidak berlainan agama dan tidak ada tindakan pembunuhan di antara mereka.
3.      Hadis Sebagai Bayan Taqyid
Bayan taqyid adalah penjelasan terhadap Al-Qur’an dengan cara membatasi ayat-ayat yang bersifat mutlak dengan keadaan, sifat dan syarat tertentu. Istilah mutlak maksudnya adalah hakikat dari suatu ayat yang hanya berorientasi pada dhohirnya tanpa memiliki limitasi yang dapat membuat pagar hukum yang sistematis. Adapun contoh hadits yang memiliki pembatasan hukum adalah:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم : ( لَا تُقْطَعُ يَدُ سَارِقٍ إِلَّا فِي رُبُعِ دِينَارٍ فَصَاعِدًا )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَاللَّفْظُ لِمُسْلِم ٍ.
وَلَفْظُ اَلْبُخَارِيِّ: تُقْطَعُ اَلْيَدُ فِي رُبُعِ دِينَارٍ فَصَاعِدًا وَفِي رِوَايَةٍ لِأَحْمَدَ اِقْطَعُوا فِي رُبُعِ دِينَارٍ, وَلَا تَقْطَعُوا فِيمَا هُوَ أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ
“Dari 'Aisyah bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak boleh dipotong tangan seorang pencuri, kecuali sebesar seperempat dinar atau lebih." Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut riwayat Muslim. Menurut Lafadz Bukhari: "Tangan seorang pencuri dipotong (jika mengambil sebesar seperempat dinar atau lebih." Menurut riwayat Ahmad: "Potonglah jika mengambil seperempat dinar dan jangan memotong jika mengambil lebih kurang daripada itu”.
Hadits di atas dalam prakteknya yaitu membatasi hukuman pencuri yang secara hukum tetap ia dipotong tangannya sebagaimana dijelaskan secara mutlak dalam ayat:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ
وَاللَّهُعَزِيزٌحَكِيمٌ
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.(Q.S. Al-Maidah (5) ayat 38).

Ayat ini menjelaskan tentang hukum mutlak potong tangan bagi pencuri laki-laki dan perempuan tanpa ada suatu pembatas takaran curiannya. Ayat ini mengobligasikan potong tangan secara mutlak. Maka, kemudian hadis datang untuk membatasi hukum bahwa yang dikenakan potongan tangan adalah bagi mereka yang mencuri seperempat dinar atau lebih.
4.      Hadis sebagai Bayan Ta’kid
Hadis berfungsi juga sebagai penguat hukum-hukum yang ada di dalam Al-Quran. Suatu ketetapan hukum tentang suatu masalah memiliki dua sumber atau argumentasi, yakni Al-Quran dan Sunnah. Selain itu sunnah dalam konteks ini melengkapi sebagian cabang-cabang hukum yang berasal dari Al-Quran.
Dalam Al-Quran banyak ayat yang saling menguatkan dengan sunnah. Misalnya ayat Al-Quran tentang puasa Ramadhan, Allah berfirman:
Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan AL-Quran sebagi petunjuk bagi manusia dan sebagai penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu melihat bulan, maka hendaklah dia berpuasa pada bulan itu”. (Q.S. Al-Baqarah: 15).
Ayat ini dikuatkan oleh hadis Nabi yang berbunyi: “Berpuasalah kamu setelah melihat bulan itu dan berbukalah setelah melihat bulan juga” (H.R. Bukhari-Muslim).
5.      Hadis sebagai Bayan Tasyri’
Bayan tasyri’ adalah penjelasan hadis Nabi yang mendefenisikan suatu ketetapan hukum secara independen yang tidak didapati dalam nash-nash Al-Quran secara tekstual. Penjelasan itu muncul dengan sebab adanya permasalahan-permasalahan yang timbul di antara masyarakat. Di sinilah hadis Nabi mengeluarkan penjelasan dan sekaligus keputusan dengan tidak berorientsi terhadap Al-Quran namun tetap ada bimbingan langsung dari sang pemilik semesta, Allah SWT.  Misalnya hadits Nabi:
و حَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنرَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا وَلَا بَيْنَ
 الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا
“Tidak boleh menikahi seorang perempuan bersamaan dengan bibinya dari pihak bapak & tak boleh menikahi perempuan bersamaan dengan bibinya dari pihak ibunya”. (HR. Malik No.977).
Hadits di atas menjelaskan bahwa seseorang dilarang mempoligami perempuan bersamaan dengan bibinya. Disini Nabi memutuskan suatu hukum akan larangan itu. Dalam Al-Quran tidak ada sebuah ayat tersurat tentang larangan mengawini perempuan bersamaan dengan bibinya baik dari arah ayah maupun ibu. Hanya ada dalam Al-Quran keterangan-keterangan tentang dilarangnya menikahi perempuan beserta kelurganya, seperti ibu, saudara, anak dan sebagainya. Disinilah hadis mejelaskan haramnya menikahi bibi perempuan yang dinikahi tanpa berorientasi terhadap Al-Quran dalam  membuat keputusan itu.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa apa yang telah disunnahkan oleh Rasulullah SAW tidak terdapat dalam kitabullah, maka hal itu merupakan hukum Allah juga, sebagaimana Allah berfirman:
Sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus, yaitu jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan di bumi”. (Q.S. Al-Syura: 52).

2.3.  Hubungan Alquran dengan sunnah
1.      As-Sunnah berfungsi sebagai penguat hukum yang sudah ada di dalam Al-Qur-an. Dengan demikian hukum tersebut mempunyai dua sumber dan terdapat pula dua dalil. Yaitu dalil-dalil yang tersebut di dalam Al-Qur-an dan dalil penguat yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berdasarkan hukum-hukum tersebut banyak kita dapati perintah dan larangan. Ada perintah mentauhidkan Allah, berbuat baik kepada kedua orang tua, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, ibadah haji ke Baitullah, dan disamping itu dilarang menyekutukan Allah, menyakiti kedua orang tua, serta banyak lagi yang lainnya.
2.      Terkadang As-Sunnah itu berfungsi sebagai penafsir atau pemerinci hal-hal yang disebut secara mujmal dalam Al-Qur-an, atau memberikan taqyid, atau memberikan takhshish dan ayat-ayat Al-Qur-an yang muthlaq dan ‘aam (umum). Karena tafsir, taqyid dan takhshish yang datang dari As-Sunnah itu memberi penjelasan kepada makna yang dimaksud di dalam Al-Qur-an.
Dalam hal ini Allah telah memberi wewenang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberikan penjelasan terhadap nash-nash Al-Qur-an dengan firman-Nya :
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ ۗ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَلِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْيَتَفَكَّرُونَ
“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan Kitab-Kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur-an, agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” [An-Nahl: 44]
Di antara contoh As-Sunnah mentakhshish Al-Qur-an adalah:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ
“Allah berwasiat kepada kamu tentang anak-anak kamu, bagi laki-laki bagiannya sama dengan dua orang perempuan…” [An-Nisaa’: 11]
As-Sunnah mentaqyid kemutlakan al-Qur-an:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
“Pencuri laki-laki dan perempuan, hendaklah dipotong kedua tangannya…” [Al-Maa-idah: 38]
Ayat ini tidak menjelaskan sampai di manakah batas tangan yang akan dipotong. Maka dari as-Sunnahlah didapat penjelasannya, yakni sampai pergelangan tangan.
Adapun hukum-hukum tambahan selain yang terdapat di dalam Al-Qur-an, maka hal itu merupakan tasyri’ dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang wajib bagi kita mentaatinya dan tidak boleh kita mengingkarinya. Tasyri’ yang demikian ini bukanlah mendahului Kitabullah, bahkan hal itu sebagai wujud pelaksanaan perintah Allah agar kita mentaati Rasul-Nya. Seandainya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ditaati, maka ketaatan kita kepada Allah tidak mempunyai arti sama sekali. Karena itu kita wajib taat terhadap apa-apa yang sesuai dengan Al-Qur-an dan terhadap apa-apa yang beliau tetapkan hukumnya yang tidak terdapat di dalam Al-Qur-an.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَّن يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
‘Barangsiapa taat kepada Rasul berarti ia taat kepada Allah…’” [An-Nisaa’: 80].











BAB III PENUTUP

3.1.  Simpulan
Al-Quran memang merupakan pedoman umat Islam yang utama, namun isi dan redaksi dari Al-Quran itu sendiri masih sangat bersifat global (mujmal). Maka dari itu kedudukan hadis dalam Islam yang utama adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Quran yang masih global. Rasulullah diperintahkan untuk menjelaskan tiap-tiap ajaran kepada para sahabat setelah beliau mendapatkan penjelasan dari Jibril.
Peran kedua adalah agar hadis menjadi pedoman ketika muncul persoalan-persoalan yang tidak secara spesifik terdapat dalam Al-Quran. Setelah masa Rasulullah SAW. Al-Quran dan Hadis dijadikan sebagai rujukan para ulama untuk mengeluarkan fatwa dan aturan lainya. Karena tidak menutup kemungkinan perseteruan akan terjadi di masa yang akan datang berhubungan dengan hukum dalam Al-Quran.
Peran yang ketiga, menjaga agar ayat-ayat Al-Quran tidak secara sembarangan dilencengkan sehingga seolah ayat-ayat Al-Quran berkontradiksi. Penjelasan Rasulullah sudah merupakan penjelasan yang dapat dipahami bahwa juga telah ditafsirkan mendalam oleh para ulama.
Rasulullah yang bergelar uswatun hasanah segala ucapan dan kepribaianya adalah pencitraan dari Al-Quran. Sehingga umat Islam yang mengikuti hadis-hadis Rasulullah adalah mereka yang juga taat kepada Al-Quran.




                                                                                               



DAFTAR PUSTAKA

Agus Solehudin, M dan Suyadi, Agus. 2008. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia
Khon, Abdul Majid. 2009. Ulumul Hadis. Jakarta: Bumi Aksara
Noer Sulaiman, M. 2008. Antologi Ilmu Hadits. Jakarta: Gaung Persada Press
Suparta, Munzier. 2008. Ilmu Hadis. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Supian, Aan. 2014. Ulumul Hadis. Bogor: IPB Press
Bulughul Maram versi 2.0 © 1429 H / 2008 M Oleh : Pustaka Al-Hidayah, Hadis No. 1255. 


Previous
Next Post »
Thanks for your comment